Persoalan perangkingan siswa di sekolah ternyata isu yg sangat melekat dan nyaris tidak habis. Bukan sekali dua kali sy menulis betapa dampak negatif perangkingan bagi psikologi anak2 di suatu lembaga pendidikan. Berkali-kali juga sy sisipkan diskusi ini saat sy mengisi kegiatan di beberapa sekolah. Sengaja emang sy angkat masalah ini meski sy sebenarnya mengisi kegiatan tentang evaluasi digital atau materi IT lainnya di luar konteks kurikulum. Dua hal yg masih menjadi kebiasaan buruk dalam pembelajaran di sekolah meski sebenarnya tidak diperkenankan lagi oleh kurikulum, yaitu perangkingan siswa setiap semester dan remedial setelah ujian semester. Bukan hanya di SD, banyak sekolah SMP sampai SMA masih memaksa kedua hal tersebut.
Tidak akan lelah sy sampaikan ini, termasuk saat sy diundang rapat sekolah sekalipun. Meski K13 jelang berakhir dalam masa transisi menuju Kurikulum Merdeka, persoalan perangkingan tetap harus kita luruskan terlebih di saat menuju kurikulum baru. Beberapa sekolah beralasan rangking harus dilabeli karena orangtua menanyakan anaknya rangking berapa. Loh kenapa sekolah harus mengabaikan spirit kurikulum untuk mengakomodasi kemauan orangtua, ini beneran tidak merdeka. Sekolah harusnya menjadi lembaga edukasi yang mencerdaskan masyarakat, tidak perlu membenarkan kebiasaan, justru harus membiasakan yang benar.
Jika saja kita mau jeli, tidak ada kolom perangkingan dalam raport K13, namun tidak kurang banyak guru memaksa kehendak, kolom keterangan diisi perangkingan. Itu pun diisi dengan rangking 10 besar. Lalu apakah sekolah sudah menggeser fungsinya, sebagai lembaga yang mengadakan kompetisi bukan lembaga yg mengakomodasi edukasi minat dan bakat bagi seluruh anak. Jika sekolah berbangga dengan prestasi anak 10 besar, lalu bagaimana anak2 yg tersisa tanpa label, dianggap apa ? Bukankah mereka juga produk pendidikan sekolah tersebut.
Dalam sebuah kesempatan di hadapan wali murid sy pernah sampaikan tentang prestasi anak. Seorang wali murid meminta sekolah merayakan pembagian raport agar anak2 berprestasi atau yang mendapat rangking terapresiasi. Pernah gak kita berpikir bahwa jika itu dilaksanakan hanya menyenangkan sebagian kecil anak2 dan orangtua namun melukai banyak anak lain yang tidak memperoleh rangking. Sungguh eforia yang jahat. Sy menentang rangking pada raport anak sy, bukan hal yang baik bahkan jika dia memperoleh rangking.
Kurikulum kita sekarang K13 itu sangat baik menjaga minat dan bakat siswa serta menjaga kualitas psikologi anak2. Anak2 tidak dilombakan dengan anak2 lain, sekolah bukanlah lembaga kompetisi namun lembaga yg memberi penghargaan atas setiap bakat dan minat siswa, lembaga yg punya kewajiban yang sama mengedukasi setiap anak.
Bayangkan dengan sistem perangkingan, banyak orang tua yang bertanya anaknya rangking berapa, lalu dibandingkan dengan anak lain, tanpa membandingkan dengan pencapaian anaknya sendiri. Orangtua relatif tidak peduli perkembangan anaknya, justru kerap membandingkan kenapa anaknya lebih rendah dari temannya, atau bagaimana anaknya tersebut bisa mempertahankan rangkingnya. Bukankah ketika mempertahankan rangking, konsideran orangtua juga anak yang lain, bukan perkembangan atau peningkatan anaknya sendiri.
Anak yang dapat rangking saja begitu, bayangkan betapa jatuh dan mindernya anak dan orangtua yang tidak dapat rangking. Saat anak minder, anak seolah tidak mendapat ruang, sudah orangtuanya tidak mampu, sekolah membuatnya tidak nyaman. Di rumah dia berkonflik dengan orangtua, di sekolah dia menghadapi teman2 yang pintar namun tidak mampu membuat dia cerdas.
Suatu kali sy seperti berkampanye di hadapan para orangtua siswa. Sy sampaikan "jangan pernah memaksakan anak anda rangking satu". Setiap anak punya masa perkembangan, tugas orangtua mengembangkan minat dan bakat dilakukan melalui sekolah. Itulah sebabnya kita percaya sama sekolah. Sementara tugas kita sebagai orangtua berdoa saja dan memberi ruang anak kita berkembang dengan pengetahuannya di rumah. Fasilitasi anak2 kita untuk terus belajar. Rangking tidak perlu, karenanya pemerintah melalui Mendikbud tidak lagi memperkenankan sekolah menerapkan perangkingan di sekolah.
Prestasi bagi kita bisa berbeda2, tidak mesti anak harus juara lalu disebut berprestasi. Anak mau bangun tidur lebih pagi, bersiap dengan semangat untuk ke sekolah, itu juga prestasi.
Semoga tulisan ini menggerakkan kita sebagai pengelola pendidikan agar tidak menghancurkan semangat sekolah anak2 karena perangkingan. Hapus perangkingan di sekolah karena kurikulum pun tidak mengakomodir itu. Titik.
Matangkuli, 13 Feb 2022
PakKhai